Pada suatu malam yang sunyi, seorang lelaki duduk memeluk lututnya dalam rumah sederhana yang hampir kosong dari segala yang layak disebut bekal hidup. Di hadapannya, wajah istri yang sabar dan mata-mata kecil anak-anaknya yang mulai lelah menangis karena lapar, menjadi cermin betapa dalam jurang kefakiran yang mereka hadapi.
Ia menatap jauh ke masa lalu—ke hari-hari kelam yang pernah dilaluinya.
Hari-hari saat ia menggenggam perutnya yang kosong dan hanya bisa menjanjikan esok yang tidak pasti.
Hari-hari saat ia tak mampu membawa sepotong roti pun untuk keluarganya. Dan kini, kefakiran itu telah memuncak hingga batasnya.
Sang istri, yang selama ini menjadi temannya dalam sabar dan doa, akhirnya berkata dengan lembut namun tegas:
“Pergilah kepada Rasulullah ﷺ. Sampaikanlah kepadanya tentang keadaan kita. Barangkali pertolongan Allah akan datang lewat tangan beliau.”
Dengan hati penuh harap dan langkah yang berat, lelaki itu pun pergi menuju Rasulullah ﷺ. Namun sebelum ia sempat menyampaikan keluhannya, telinganya mendengar sabda lembut namun penuh makna dari lisan Rasul yang mulia:
“مَنْ سَأَلَنَا أَعْطَيْنَاهُ، وَمَنِ اسْتَغْنَى أَغْنَاهُ اللهُ.”
“Barangsiapa meminta kepada kami, akan kami beri. Dan barangsiapa menjaga diri dari meminta, maka Allah akan mencukupkannya.”
Kata-kata itu menembus jantungnya. Ia terdiam. Tak jadi mengadu. Ia kembali pulang dengan tangan kosong, tapi hati yang mulai berpikir: mungkinkah di balik sabda itu, tersembunyi kunci untuk membuka pintu rezeki?
Namun kenyataan masih menggigit.
Malam berikutnya, lapar kembali mengetuk pintu. Ia kembali mendatangi Nabi ﷺ, dan sekali lagi, sabda itu yang ia dengar.
“Man sa’alanā a‘ṭaynāh, wa man istaġnā aġnāhullāh…”
Dan sekali lagi, ia pulang tanpa berkata sepatah kata pun.
Pada hari ketiga, kefakiran itu nyaris mencengkeram lehernya. Tapi begitu mendengar sabda Nabi ﷺ untuk ketiga kalinya, hatinya mendadak berubah. Kali ini bukan kesedihan yang menyelimuti dirinya, tapi sebuah tekad yang mengakar kuat:
“Cukuplah Allah bagiku. Aku tidak akan mengulurkan tangan kepada hamba-hamba-Nya. Aku akan bersandar penuh kepada-Nya, dan menggunakan kekuatan yang Dia titipkan padaku.”
Dengan langkah yang tegap dan pandangan yang jernih, ia berjalan keluar dari masjid. Dalam benaknya berputar satu pertanyaan penting:
“Apa yang bisa aku kerjakan dengan tenagaku ini?”
Dan tiba-tiba, sebuah ilham melintas. Ia akan pergi ke padang pasir, menebang kayu dan mengumpulkan ranting untuk dijual. Ia meminjam kapak, menguatkan niat, lalu berjalan jauh menembus terik dan pasir demi mencari rezeki yang halal.
Hari itu, ia berhasil membawa seikat kayu ke kota dan menjualnya. Sedikit hasil, namun manisnya lebih lezat dari madu. Lelahnya terasa mulia, dan peluhnya menjadi saksi bahwa ia sedang membangun harga diri di atas pondasi tawakal.
Hari demi hari, ia terus bekerja. Pelan tapi pasti, usahanya tumbuh. Ia bisa membeli seekor unta, lalu menggaji dua orang pembantu. Ia membangun kehidupannya dari nol, hingga akhirnya menjadi orang yang cukup dan bahkan berkecukupan.
Suatu hari, ia bertemu kembali dengan Rasulullah ﷺ. Wajahnya berseri membawa kabar kebangkitan. Ia menceritakan semua perjalanan hidupnya sejak tiga kali bertemu sabda Nabi hingga menjadi seperti sekarang.
Rasulullah ﷺ tersenyum penuh kebahagiaan, dan bersabda:
“أَتَذْكُرُ أَنَّنِي قُلْتُ: مَنْ سَأَلَنَا أَعْطَيْنَاهُ، وَمَنِ اسْتَغْنَى أَغْنَاهُ اللهُ؟”
“Masihkah engkau ingat ketika aku berkata: Barangsiapa menjaga diri dari meminta, maka Allah akan mencukupkannya?”
Pelajaran dari kisah :
Kisah ini bukan sekadar tentang seorang lelaki dan seikat kayu. Ini adalah kisah tentang keyakinan kepada Allah, tentang bagaimana satu sabda Nabi dapat membangkitkan harga diri dan menyalakan kembali semangat usaha.
Rasulullah ﷺ tidak serta-merta memberi hartanya, tapi memberikan sesuatu yang lebih berharga—yaitu dorongan untuk menggali potensi diri, membangkitkan rasa malu dari meminta-minta, dan meletakkan tawakal di tempat yang benar.
Dalam dunia yang kerap membuat manusia tergoda untuk menggantungkan hidupnya kepada manusia lain, kisah ini mengajarkan bahwa kemandirian yang bersandar pada Allah jauh lebih mulia dan berbuah lebih manis.