Di antara poros perubahan terbesar di muka bumi ini, ada satu titik yang tak bisa disangkal kekuatannya: masjid. Dan di dalam masjid, ada satu tempat yang menjadi pusat denyut peradaban: mimbar. Dan mimbar itu mencapai puncak keagungannya pada hari terbaik yang Allah ciptakan—hari Jumat.
Pada hari itulah, waktu, tempat, dan manusia bertemu dalam satu garis lurus menuju langit. Dan poros dari ketiganya kini berada di tanganmu, wahai khatib…
Hari Jumat bukan sekadar hari. Ia adalah janji dan panggilan. Ia adalah pertemuan agung antara manusia dan Penciptanya, dalam rupa terbaik kemanusiaan—bukan hanya raga yang bersih dan harum, tetapi juga hati yang hadir dan tunduk. Mereka datang dengan adab, mereka duduk dengan tenang, dan mereka mendengarkanmu… seakan-akan dunia berhenti sejenak untuk mendengar apa yang akan engkau ucapkan.
Adakah engkau menemukan momen lain yang serupa dengan ini?
Engkau berdiri, dan kata-katamu mengalir. Dan seketika itu pula, ruh Jumat menyala. Seakan-akan surat Al-A‘lā dan Al-Ghāsyiyah turun untuk pertama kali di hari itu—membawa makna yang menghidupkan, menggugah, dan mengguncang hati-hati yang diam.
Betapa luar biasanya anugerah ini… dan betapa besar pula amanah yang dipikul oleh para khatib.
Wahai khatib… manusia datang padamu tanpa undangan darimu. Cukuplah seruan dari Allah sebagai panggilan. Dan saat mereka duduk, mereka hamparkan hati mereka di hadapanmu. Mereka membiarkan engkau mengukir jejak-jejak kata di dalamnya—maka dengan apa akan engkau isi ruang suci itu?
Ketahuilah, shalat Jumat adalah garis pertahanan terakhir umat ini. Tak peduli seberapa keras musuh mencoba membungkam, mereka tak bisa mematikan Jumat. Dan selama shalat Jumat masih tegak, maka tak akan pernah ada shalat jenazah untuk umat ini.
Maka renungkanlah… bagaimana dari mimbar-mimbar itulah bara semangat meletup di masa-masa kejatuhan. Dari mimbar-mimbar itulah lahir lelaki-lelaki baja yang melawan pasukan Salib dan para penindas. Dari mimbar-mimbar itulah umat ini kembali mengingat siapa diri mereka sebenarnya.
Karena itu, membarukan khutbah bukanlah pilihan. Ia adalah keniscayaan. Ia adalah keharusan sejarah. Dan celakalah jika musuh-musuh kita lebih mengerti hari Jumat daripada kita sendiri!
Wahai khatib… jangan biarkan khutbahmu menjadi gema dari masa lalu yang tak lagi hidup. Jangan biarkan ia menjadi ritus kosong tanpa ruh. Tanyakan pada dirimu, sebelum engkau naik ke mimbar, setiap kali:
“Apa yang baru dalam khutbah ini?”
Apa yang segar dalam pembukanya? Apa yang hidup dalam dalilnya? Apa yang menyentuh dalam penyampaiannya? Apa yang mengguncang dalam maknanya?
Karena khutbah yang baik bukan hanya mengisi waktu, tetapi membelah kesadaran. Ia tidak hanya menyampaikan, tetapi menghidupkan. Ia tidak hanya memberi tahu, tetapi membangkitkan.
Dan demi Allah, jika engkau tak mampu menghadirkan ruh itu, maka lebih baik diam. Sebab musibah terbesar hari ini bukanlah khutbah yang salah… tapi khutbah yang hampa. Khutbah yang tak lagi mengguncang, tak lagi menyala, tak lagi menghidupkan.
Inilah jeritan zaman: [فوامنبراه] — ratapan untuk mimbar Rasulullah ﷺ yang mulai bisu. Ratapan untuk khutbah-khutbah yang kehilangan arah. Ratapan yang pantas dibacakan di atas mimbar itu sendiri—sebagai seruan kesadaran, sebagai nyala perubahan.
Wahai khatib… jadilah engkau seperti singa mimbar, yang dari tenggorokannya mengalir suara kehidupan. Guncangkanlah bumi dengan khutbahmu, hingga hati umat ini bergetar dan ingat kembali akan janji mereka kepada Allah.
Demi Allah… demi Jumat… demi umat ini yang sedang tertidur…
Bangkitlah. Dan katakan pada dunia: “Aku untuknya. Aku untuknya.”
di narasikan kembali oleh muhammad ajib dari kitab فوامنبراه tulisan Taufiq Arrifai