Info Penting
Senin, 12 Mei 2025
  • PSB TPQ/TK/SDI/MTs Darul Hasanah Sudah dibuka Segera daftarkan Putra Putri Anda || Info pendaftaran Hub: 08562599768
  • PSB TPQ/TK/SDI/MTs Darul Hasanah Sudah dibuka Segera daftarkan Putra Putri Anda || Info pendaftaran Hub: 08562599768
9 Mei 2025

Abu Abdillah al-Qurasyi: Sang Penyabar Atas Perilaku Buruk Isterinya – الصبر على أذى الزوجة

Jum, 9 Mei 2025 Dibaca 3x

Muhammad Ajib
الصبر على أذى الزوجة

Di tanah suci Mekkah, hidup seorang lelaki bernama Abu Abdillah al-Qurasyi. Ia bukan seorang raja, bukan pula seorang hartawan.

Ia hanyalah seorang hamba Allah yang memilih jalan zuhud, menempuh hidup sederhana, mendekatkan diri kepada Tuhan dalam setiap detik hidupnya.

Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan sebuah kisah kesabaran yang agung, yang kelak menjadi pengingat bagi siapa saja yang mau menjadikan sebagai pelajaran dalam hidupnya,  .

Ia menikahi seorang perempuan. Tidak seperti impian banyak lelaki, perempuan itu bukanlah pendamping yang lembut tutur katanya, bukan pula penyemai ketenangan dalam rumah tangga.

Istrinya berlidah tajam, keras kepala, dan berperangai buruk.

Setiap hari, Abu Abdillah hidup dalam ujian; mendengar caci, menerima bentakan, menahan luka demi luka.

Namun selama dua puluh enam tahun, ia tidak pernah mengeluh. Tidak kepada keluarga istrinya, tidak pula kepada orang-orang terdekatnya.

Semua kepedihan itu ia telan sendiri, seolah menanam luka dalam dada sembari berbisik kepada langit: “Ya Allah, aku bersabar karena-Mu.”

Waktu berjalan, luka itu menumpuk, namun iman tetap menancap. Hingga suatu hari, Abu Abdillah merasa letih.

Bukan ingin menyerah, bukan pula hendak berpisah, tetapi hatinya merindukan ketenangan sejenak, jeda untuk menghela napas, ruang untuk menguatkan diri.

Maka ia memutuskan pergi. Ia tinggalkan rumah itu tanpa tujuan, melangkah keluar dari Mekkah, membawa dirinya menjauh dari hiruk pikuk dunia.

Langkahnya menuntunnya ke sebuah gunung, tempat beberapa orang ahli ibadah bermukim. Mereka berpuasa di siang hari, beribadah di malam hari, menjauhkan diri dari gemerlap dunia.

Abu Abdillah mendekati mereka, mengucapkan salam, dan berkata, “Apa yang kalian lakukan di tempat ini?”

Mereka menjawab, “Kami berpuasa dan salat di sini, menjauh dari manusia dan kesibukan dunia.”

Hatinya tergetar.

Inilah yang ia cari: sebuah tempat sunyi untuk menenangkan jiwa.

Ia meminta izin untuk tinggal bersama mereka.

Mereka menyambutnya tanpa bertanya siapa dia, tanpa menelisik dari mana asalnya. Karena begitulah adat para pendahulu: memuliakan tamu tanpa prasangka.

Malam pertama, mereka menunaikan salat Isya berjamaah.

Seusai salat, mereka berkata, “Berdoalah untuk kami.” Namun Abu Abdillah menolak, “Berdoalah kalian.”

Maka salah satu dari mereka berdoa, memohon kepada Allah makanan dan minuman.

Tak lama, datanglah seorang lelaki membawa air dan makanan. Mereka makan hingga kenyang.

Keesokan harinya, mereka kembali memintanya berdoa. Ia tetap menolak, Lagi-lagi ia berkata, “Berdoalah kalian.”

Mereka pun berdoa, dan Allah kembali mengabulkan.

Datang seorang membawa makanan dan minuman.

Kejadian itu berulang, hari demi hari, doa demi doa, dan selalu dikabulkan tanpa tertunda.

Abu Abdillah mulai heran. Bagaimana mungkin setiap doa mereka secepat itu dikabulkan?

Hatinya penasaran, lidahnya tak bisa menahan tanya.

Pada hari ketiga, ia berkata kepada mereka, “Aku ingin tahu… dengan apa kalian berdoa? Karena setiap kali kalian berdoa, Allah langsung mengabulkannya.”

Dua orang itu saling menatap, lalu berkata, tanpa sedikit pun menyadari siapa lelaki yang berdiri di hadapan mereka:

“Setiap kali kami berdoa, kami memohon kepada Allah kami wasilah dengan menyebut nama seorang lelaki bernama Abu Abdillah al-Qurasyi. Ia seorang lelaki yang bersabar menghadapi istrinya selama dua puluh enam tahun, meski istrinya selalu menyakitinya. Kami memohon kepada Allah agar diberikan kesabaran sebagaimana kesabarannya. Maka Allah selalu mengabulkan doa kami berkat kesabaran lelaki itu.”

Mereka berbicara tanpa sadar, bahwa lelaki yang mereka sebut itu adalah dia sendiri.

Air mata Abu Abdillah jatuh.

Dunia seolah berhenti berputar. Tubuhnya gemetar menahan haru. Betapa agung rahmat Allah.

Betapa besar balasan sabar yang selama ini ia jalani dalam diam. Ia teringat firman Allah:

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az-Zumar: 10)

Saat itu, sebuah suara bergema dalam hatinya:

“Aku… aku dijadikan perantara (wasilah) doa, aku dijadikan sebab turunnya rahmat bagi orang lain, karena kesabaran yang aku jalani. Bagaimana mungkin aku lari dari ujian ini? Bagaimana mungkin aku meninggalkan ladang pahala ini?”

Abu Abdillah segera turun dari gunung itu. Langkahnya mantap, dadanya lapang.

Ia pulang ke rumahnya, ke istrinya, ke anak-anaknya. Ia tahu, sabarnya bukan sia-sia. Ia tahu, Allah mencatat semua luka yang ia tahan, semua derita yang ia telan, semua air mata yang ia sembunyikan.

Ia kembali bukan sebagai lelaki yang kalah, tapi sebagai pemenang dalam kesabaran.

Ia kembali bukan hanya sebagai suami, tetapi sebagai hamba yang dicintai Alloh.

Karena ia paham, kesabaran bukan hanya menahan amarah, tetapi menerima dengan ridha, menunaikan dengan ikhlas, dan menggantungkan segalanya kepada Allah.

Kisah Abu Abdillah al-Qurasyi bukan hanya tentang ujian rumah tangga, tetapi tentang bagaimana kesabaran manusia menjadi wasilah turunnya rahmat Allah kepada dunia.

Tentang bagaimana keikhlasan seorang hamba mengguncang langit, menjadi sebab terkabulnya doa-doa orang saleh.

Dan sungguh, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang mukmin ditimpa kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya karena itu.”
(HR. Bukhari Muslim)

Maka, jika dunia memberatkan pundakmu, bersabarlah. Karena langit sedang mencatat namamu.

Tamat.

Diterjemahkan oleh muhammad ajibMuhammad Ajib