Setelah peristiwa Perang Shiffin, muncul sebuah kelompok baru yang dikenal sebagai الخوارج (Khawarij), yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang tidak memahami kedalaman agama. Mereka melakukan kekacauan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya pemerintahan turun tangan dan banyak dari mereka dibawa ke hadapan الحجّاج untuk diadili.
Ketika tiba giliran seorang terakhir dari mereka, azan dikumandangkan, menandakan waktu salat. Maka Al-Hajjaj pun berdiri dan menyerahkan laki-laki itu kepada seorang yang hadir di majelisnya, bernama عنبسة. Ia berkata kepadanya:
قال الحجّاج: خُذه معك إلى البيت، وأحضره لي غداً حتى أقرّر عقوبته.
“Bawa dia bersamamu malam ini ke rumahmu, dan bawa kembali besok agar aku dapat menjatuhkan hukuman.”
Dalam perjalanan pulang, si tertuduh berkata kepada ‘Anbasah:
قال المتهم: هل يُرجى منك خير؟
“Apakah masih ada harapan kebaikan darimu?”
‘Anbasah menjawab:
قال عنبسة: ما تُريد؟ لعلّي أوفّق لعمل خير لك.
“Apa yang engkau inginkan? Mungkin aku bisa menolongmu.”
Lelaki itu lalu berkata dengan jujur:
قال المتهم: والله ما أنا خارجي، ولا شهرت سيفي على أحد، وأنا بريء من هذه التهمة. ولكني أرجوك أن تأذن لي الليلة أن أرجع إلى أهلي فأودّعهم، وأوصيهم، وأؤدي ما عليّ من الحقوق، ثم أعود إليك غداً صباحاً.
“Demi Allah, aku bukan bagian dari Khawarij, tidak pernah mengangkat senjata kepada siapa pun. Aku tidak bersalah. Tapi aku mohon padamu, izinkan aku malam ini pulang untuk berpamitan pada keluargaku, menyampaikan wasiat, dan menunaikan hak orang-orang. Besok pagi aku akan kembali.”
‘Anbasah pun terdiam, lalu berkata:
قال عنبسة: اذهب، ولكن عاهدني على الرجوع.
“Pergilah, tapi berjanjilah padaku engkau akan kembali.”
Lelaki itu menjawab penuh iman:
قال: عاهدتك على أن أعود غداً، وأُشهد الله على هذا العهد.
“Aku berjanji padamu untuk kembali besok, dan aku menjadikan Allah sebagai saksi atas janjiku ini.”
Dan ia pun pergi. Namun malam itu, ‘Anbasah tak bisa tidur. Ia gelisah luar biasa, merasa telah menjerumuskan diri pada kemarahan Al-Hajjaj.
Ketika pagi tiba, dengan tak disangka, lelaki itu datang kembali tepat waktu. ‘Anbasah bertanya penuh heran:
قال عنبسة: لماذا حضرت؟
“Mengapa engkau datang kembali?”
Ia menjawab dengan penuh keyakinan:
قال: من آمن بالله، واعتقد قدرته، وجعل الله شهيداً على عهده، لا يُخلف عهده.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah, meyakini kekuasaan-Nya, dan menjadikan-Nya saksi atas janjinya, maka dia tidak akan mengingkari janjinya.”
‘Anbasah membawanya ke istana dan menceritakan segalanya kepada Al-Hajjaj, yang lalu berkata:
قال الحجاج: أتريد أن أعفو عنه لأجلك؟
“Apakah engkau ingin aku membebaskannya demi dirimu?”
‘Anbasah menjawab:
قال: إن تكرّمت عليّ بذلك فلك المِنّة.
“Jika engkau sudi, itu adalah karunia besar bagiku.”
Maka Al-Hajjaj pun memaafkan lelaki itu dan berkata kepadanya:
قال له بلُطف: اذهب فأنت حرّ.
“Pergilah, engkau bebas.”
Anehnya, lelaki itu tak mengucapkan sepatah kata pun. Tidak berterima kasih, tidak menunjukkan penghargaan. ‘Anbasah pun merasa heran dan kecewa.
Namun keesokan harinya, lelaki itu datang dan berkata:
قال: أتيت لأشكرك على إنقاذك لي من الورطة.
“Aku datang untuk berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkanku dari musibah.”
Ia menjelaskan alasan keterlambatan ucapannya:
قال: المنقذ الحقيقي هو الله، وأنت كنت واسطة. ولو شكرتك بالأمس، لأشركتك مع الله في النعمة، وذلك لا يليق. فرأيت أن أشكر الله أولاً، ثم أتيت لأشكرك.
“Sesungguhnya penyelamatku yang sebenarnya adalah Allah. Engkau hanyalah perantara. Jika kemarin aku langsung mengucapkan terima kasih, maka seakan aku menyekutukanmu dalam nikmat yang diberikan Allah, dan itu tidak pantas. Maka aku memilih bersyukur kepada Allah terlebih dahulu, lalu datang hari ini untuk menyampaikan terima kasih kepadamu.”
Setelah itu ia pun pergi, meninggalkan dalam hati ‘Anbasah bekas mendalam:
Pelajaran tentang keimanan, tentang amanah, dan tentang adab terhadap Sang Maha Pemberi Nikmat.