Info Penting
Senin, 12 Mei 2025
  • PSB TPQ/TK/SDI/MTs Darul Hasanah Sudah dibuka Segera daftarkan Putra Putri Anda || Info pendaftaran Hub: 08562599768
  • PSB TPQ/TK/SDI/MTs Darul Hasanah Sudah dibuka Segera daftarkan Putra Putri Anda || Info pendaftaran Hub: 08562599768
29 April 2025

Rahasia-Rahasia Shalat – Khusus untuk Pemuda – Shalat: Sebuah Ibadah yang Agung – أسرار الصلاة خاص بالشباب

Sel, 29 April 2025 Dibaca 17x
Muhammad Ajib

Pendiri dan Pembina Yayasan Darul Hasanah

أسرار الصلاة خاص بالشباب

Rahasia-Rahasia Shalat – Khusus untuk Pemuda

Diterjemahkan oleh

Muhammad Ajib

 

Shalat: Sebuah Ibadah yang Agung

Cinta kepada Allah, ibadah kepada-Nya, ketundukan di hadapan-Nya, serta kerendahan hati di hadapan kebesaran-Nya, merupakan buah dari ma‘rifah — yaitu pengenalan terhadap Allah.

Sungguh, ma‘rifah adalah pondasi dari segala bentuk ibadah dan penghambaan.

Mengenal Allah, dan mengakui bahwa Dialah Sang Pencipta alam semesta dan manusia, menumbuhkan dalam diri manusia rasa penghambaan kepada Allah dan ketaatan terhadap segala perintah-Nya.

Dan seluruh hal ini menemukan puncak keindahannya dalam shalat — ibadah agung yang memuat sujud dalam kehadiran ilahiah, munajat penuh kerinduan, doa penuh harap, pujian yang tulus, rasa syukur yang dalam, dan sanjungan kepada-Nya, Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.

Mengapa Kita Beribadah kepada Allah?

Sesungguhnya rahasia penciptaan manusia, serta tujuan agung dari kehadirannya di dunia ini, adalah untuk beribadah dan menaati Allah. Al-Qur’an yang mulia menegaskan:

﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴾
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Hikmah ilahiah ini pula yang menjadi landasan dari pengutusan para rasul. Allah ﷻ berfirman:

﴿ وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ﴾
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat, untuk menyerukan: ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’.” (QS. An-Nahl: 36)

Kebahagiaan dan kemuliaan manusia sesungguhnya telah cukup tercakup dalam ibadah.

Ibadah merupakan perdagangan suci di mana keuntungan sepenuhnya kembali kepada manusia itu sendiri.

Allah, Maha Kaya dengan mutlak, tidak memperoleh manfaat apa pun dari ibadah para hamba-Nya, dan tidak pula dirugikan oleh kedurhakaan para pendosa.

Tidakkah engkau memperhatikan seorang guru, ketika ia berpesan kepada murid-muridnya agar tekun belajar dan bersungguh-sungguh dalam membaca?

Ia berbuat demikian bukan untuk kemaslahatannya sendiri, melainkan demi kemaslahatan mereka, murid-muridnya.

Kesuksesan murid yang tekun ataupun kegagalan murid yang malas, tidak menambah dan tidak pula mengurangi sedikit pun dari dirinya.

Demikianlah Allah mengajak hamba-hamba-Nya kepada ibadah — demi kemuliaan mereka sendiri, bukan untuk keuntungan-Nya.

Alasan dan Dorongan untuk Beribadah

  1. Kesadaran akan Keagungan Allah

Ketika seseorang berhadapan dengan sosok yang mulia — seorang tokoh terhormat atau ilmuwan besar — ia secara naluriah akan menunjukkan rasa hormat, berdiri dengan penuh takzim, dan merendahkan diri sebagai tanda pengakuan terhadap kedudukan orang tersebut.

Padahal, itu semua terjadi di hadapan sesama manusia.

Maka, bagaimana seharusnya sikap seorang hamba di hadapan Pencipta alam semesta, Yang memiliki segala keagungan dan kemuliaan di seluruh jagat raya?

Sesungguhnya, kesadaran seorang manusia akan kebesaran dan keagungan Allah adalah fondasi utama dalam membangkitkan rasa hormat, kekhusyukan, dan ketaatan dalam ibadah. Ia akan terdorong untuk sujud dalam ketundukan yang tulus, bukan karena paksaan, tetapi karena hatinya mengenal kebesaran-Nya.

 

  1. Rasa Butuh untuk Terhubung kepada Yang Mutlak

Manusia secara hakikat adalah makhluk yang lemah, penuh keterbatasan, dan selalu membutuhkan.

Sebaliknya, Allah ﷻ adalah Zat yang Maha Kaya, Pemilik mutlak segala sesuatu. Kesadaran akan jarak eksistensial antara makhluk dan Khaliq inilah yang mendorong manusia untuk mendekat — melalui ibadah dan penghambaan.

Dalam relung jiwa yang paling dalam, manusia merasakan keterdesakan untuk bersandar kepada Yang Mutlak, kepada Zat yang tidak pernah butuh tetapi senantiasa memberi.

Maka, ibadah menjadi jembatan antara ketergantungan manusia dan keabadian rahmat-Nya.

 

  1. Syukur atas Nikmat-Nikmat Allah

Nikmat Allah kepada manusia tiada terhitung. Ia meliputi manusia sejak masih dalam rahim ibunya, membersamainya sepanjang hidup dunia, dan — bagi yang beriman — menyertainya pula hingga kehidupan akhirat. Allah ﷻ berfirman:

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ * ٱلَّذِيٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍۢ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan memberi mereka keamanan dari rasa takut.” (QS. Quraisy: 3–4)

Barang siapa yang memiliki kejernihan hati dan pandangan, niscaya ia akan menyadari betapa besar anugerah Tuhan kepadanya.

Maka, tiada ungkapan syukur yang lebih indah dan luhur selain ketaatan serta ibadah kepada-Nya.

Ibadah adalah bentuk syukur yang sejati, bukan sekadar lisan, tetapi terwujud dalam amal dan sikap.

 

  1. Fitrah Manusia yang Cenderung kepada Ibadah

Ibadah adalah bagian dari fitrah manusia, ia tertanam dalam jiwa sejak mula penciptaan.

Seperti bayi yang secara alami cenderung mencari makanan, demikian pula manusia secara batin terdorong untuk mencari Tuhan dan mengabdi kepada-Nya.

Ia adalah kebutuhan asli dalam diri manusia yang mesti disalurkan.

Namun, jika fitrah ini tidak diarahkan dengan benar, ia bisa menyimpang — lalu menjadikan berhala-berhala palsu sebagai sesembahan: berupa patung, bulan, matahari, sapi, kekuasaan, harta, pasangan, bahkan hawa nafsu dan thāghūt lainnya.

Maka muncullah penyimpangan dan kehancuran.

Karena itu, Allah ﷻ mengutus para nabi untuk mengembalikan manusia kepada jalan ibadah yang lurus. Sebagaimana dikatakan oleh Imām ‘Alī عليه السلام dalam Nahjul Balāghah, khutbah ke-147:

﴿ فَبَعَثَ ٱللَّهُ مُحَمَّدًا بِٱلْحَقِّ لِيُخْرِجَ عِبَادَهُ مِنْ عِبَادَةِ ٱلْأَوْثَانِ إِلَىٰ عِبَادَتِهِ ﴾
“Maka Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran untuk mengeluarkan hamba-hamba-Nya dari penyembahan terhadap berhala menuju penyembahan kepada-Nya.”

Ibadah dalam diri manusia laksana kecenderungan bayi terhadap makanan: bila tidak diarahkan, bisa menyimpang.

Bukankah sering kita melihat anak kecil memasukkan pasir atau tanah ke dalam mulutnya karena ia merasakan lapar namun belum tahu mana makanan yang benar?

Begitu pula dengan ibadah. Fitrah yang tidak dibimbing bisa terjatuh pada bentuk-bentuk penghambaan yang batil.

Maka, kehadiran petunjuk ilahi — wahyu dan risalah — adalah penyempurna fitrah dan penjaga

Bagaimana Kita Menyembah Allah?

Ibadah adalah kehadiran seorang hamba di hadapan Sang Pencipta alam semesta dan Pemiliknya.

Ia adalah duduk tenang , bersimpuh di hadapan jamuan maknawi yang disediakan Allah Ta‘ala untuk para hamba-Nya.

Maka, ibadah sejati tidak mungkin diambil dari selain-Nya.

Sebagaimana alamat sebuah rumah hanya sah diambil dari pemiliknya, dan sebagaimana jamuan yang layak adalah yang sesuai dengan selera dan keinginan tamu, begitu pula ibadah—baik dalam bentuk dan tata cara pelaksanaannya, maupun dalam substansi dan muatannya—harus sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dan perintahkan. Tidak boleh ngarang-ngarang sendiri

Jalan untuk mengetahui semua itu adalah merujuk kepada para ulama dan kitab-kitab agama yang terpercaya.

Kriteria Ibadah yang Paling Utama

Ibadah yang terbaik adalah ibadah yang memiliki ciri-ciri berikut:

  1. Ibadah yang Sadar dan Berilmu

Dalam kerangka ini, kita membaca sabda-sabda Nabi yang mulia:

«رَكْعَتَانِ مِنْ عَالِمٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِينَ رَكْعَةً مِنْ جَاهِلٍ»
“Dua rakaat dari seorang yang berilmu lebih baik daripada tujuh puluh rakaat dari orang yang bodoh.”

«المُتَعَبِّدُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَحِمَارِ الطَّاحُونَةِ يَدُورُ وَلاَ يَبْرَحُ»
“Seorang yang beribadah tanpa pemahaman, seperti keledai penggiling yang hanya berputar-putar dan tidak pernah bergerak maju.”

«مَنْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يَعْلَمُ مَا يَقُولُ فِيهِمَا انْصَرَفَ وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ ذَنْبٌ»
“Barangsiapa salat dua rakaat dengan memahami apa yang diucapkannya, maka ia berpaling dari salat tanpa membawa dosa antara dirinya dan Allah.”

Ibadah yang demikian itu menjadikan salat sebagai mi‘raj ruh, kendaraan menuju kedekatan dengan Allah, bukan sekadar gerak tubuh yang kosong dari kesadaran.

  1. Ibadah yang Dilandasi Cinta

Tatkala ibadah dibangun di atas dasar cinta kepada Allah dan kerinduan untuk bermunajat kepada-Nya, maka akan hadir keakraban, rasa nikmat, semangat, gairah, dan ketulusan dalam jiwa.

Sebaliknya, jika ibadah dilakukan dengan malas dan berat hati, maka itu pertanda tidak adanya kerinduan dalam berdoa dan bermunajat.

Dalam doa kita membaca:

«وَاجْعَلْ نَشَاطِي فِي عِبَادَتِكَ»
“Jadikanlah semangatku tertumpah dalam ibadah kepada-Mu.”

Orang-orang yang tidak merasakan kelezatan ibadah bagaikan orang sakit yang tak mampu mengecap rasa nikmat dari makanan meskipun ia lezat dan menggoda.

Namun bila cinta dan rindu telah hadir, maka tidak dibutuhkan lagi dorongan dan iming-iming dari luar, karena dorongan batin telah cukup menggerakkan jiwanya. Ia menanti-nanti saat-saat untuk bertemu Sang Kekasih, menghitung waktu dengan debar kerinduan.

Bagi para pecinta, suara adzan adalah panggilan suci akan datangnya waktu pertemuan. Rasulullah ﷺ biasa berkata kepada Bilal:

«أَرِحْنَا يَا بِلاَل»
“Tenangkanlah (hiburlah) kami dengan adzanmu, wahai Bilal.”

  1. Ibadah yang Ikhlas

Penyakit ibadah adalah riya, sedangkan intinya adalah keikhlasan.

Keikhlasan adalah permata paling berharga dari salat dan ibadah.

Namun ikhlas bukan perkara ringan. Untuk mengusir bisikan setan dari hati, seseorang harus berjuang keras dan menanggung rasa sakit yang tidak ringan. Ia harus bersenjatakan tekad yang kuat dan semangat yang tinggi.

Tak ada nilai bagi ibadah di sisi Allah bila ia tidak murni dan ikhlas.

Tak berarti rukuk, sujud, qira’ah, dan berdiri dalam jamaah, bila tanpa keikhlasan. Ibadah harus dimurnikan dari warna riya dan dihias dengan warna ilahi.

﴿صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً﴾
“Celupan Allah – dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?”
(QS. Al-Baqarah: 138)

Dan firman-Nya:

﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ﴾
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

  1. Ibadah yang Khusyuk

Khusyuk adalah keadaan hati, buah dari pemahaman dan kesadaran akan agungnya posisi peribadatan di hadapan Rabb semesta alam.

Ketika seorang hamba mengenali kelemahan dirinya dan menyadari keagungan serta kesempurnaan Tuhannya, maka ia akan berdiri di hadapan-Nya dengan hati yang tunduk, memelas, dan sepenuh perhatian.

Al-Qur’an menggambarkan keadaan ini:

﴿الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ﴾
“(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salat mereka.”
(QS. Al-Mu’minun: 2)

Rasulullah ﷺ bersabda:

«اعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ»
“Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”

Dan dalam hadis lain:

«فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ»
“Salatlah seperti salatnya orang yang hendak berpamitan (terakhir kali).”

Artinya, hadirlah dalam salat seolah itu adalah ibadah terakhir dalam hidupmu. Maka lakukanlah dengan kualitas terbaik yang engkau mampu.

  1. Ibadah yang Tersembunyi

Rasulullah ﷺ bersabda:

«أَعْظَمُ الْعِبَادَةِ أَجْرًا أَخْفَاهَا»
“Ibadah yang paling besar pahalanya adalah yang paling tersembunyi.”

Mengapa ibadah dianjurkan untuk disembunyikan dan tidak dipamerkan?

Karena ibadah, terutama yang bersifat sunnah dan dilakukan di hadapan orang lain, sangat mudah terjangkit penyakit riya.

Bila riya telah masuk, maka pahala berkurang atau bahkan lenyap.

Kecuali untuk jenis ibadah yang memang dianjurkan dilakukan secara terang-terangan seperti salat berjamaah di masjid, yang pahalanya jauh lebih besar dari salat sendirian di rumah.

Setan, musuh utama manusia, telah bersumpah akan menyesatkan manusia dan merusak ibadahnya.

Ia datang melalui banyak jalan: melalui riya, niat yang rusak, ujub (bangga diri), atau memperbanyak ibadah lalu menganggapnya cukup. Bahkan ia menjebak manusia ke dalam dosa hingga menghancurkan amal yang telah dikumpulkan dengan susah payah.

Ibarat petani yang menanam dengan penuh jerih payah, namun saat panen justru membakar ladangnya sendiri hingga hangus menjadi abu. Atau seperti air jernih dalam gelas bersih yang tercemar hanya karena sebutir tanah atau seekor serangga yang jatuh ke dalamnya.

Demikianlah kerja riya dan dosa dalam merusak ibadah. Salat terbakar oleh riya, ibadah rusak karena ujub, sedekah hilang nilainya karena disertai menyakiti, dan kebaikan-kebaikan lenyap oleh ghibah. Tak tersisa jejaknya sedikit pun.

Syarat-Syarat Taklīf (Kelayakan untuk Dibebani Kewajiban Syariat)

Taklīf adalah pembeda penting antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Ia merupakan salah satu kemuliaan yang membedakan manusia: bahwa Allah ﷻ telah menurunkan perintah-perintah-Nya kepada manusia dan menganugerahkan kehormatan untuk memikulnya, menjalankannya, dan menyempurnakannya sebagaimana yang dikehendaki oleh Alloh Tuhan semesta alam.

Salah seorang ulama pernah mengadakan perayaan khusus setiap tahun untuk memperingati hari ia mencapai usia taklīf.

Ia berkata, “Aku telah beroleh kemuliaan pada hari ini, karena aku menjadi layak untuk memikul tanggung jawab dan menunaikan kewajiban-kewajiban ilahiah.”

Sesungguhnya, hari ketika seorang anak mencapai usia baligh adalah hari yang penuh berkah. Ia layak untuk disambut dengan penghormatan dan penghayatan yang mendalam.

Berikut adalah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat seseorang menjadi mukallaf (orang yang dibebani syariat):

  1. Bāligh (Telah Dewasa Secara Syariat)

Umur yang menandai batas baligh secara umum adalah:

  • Untuk laki-laki: genap berusia lima belas tahun dan memasuki tahun keenam belas.
  • Untuk perempuan: genap berusia sembilan tahun dan memasuki tahun kesepuluh.

Namun demikian, sebagian orang mungkin mencapai baligh sebelum usia tersebut.

Dengan tercapainya usia baligh, tanggung jawab hukum syariat mulai diberlakukan kepada seseorang.

Ia berkewajiban melaksanakan perintah-perintah yang diwajibkan dan meninggalkan larangan-larangan yang diharamkan.

Semua itu menuntut pengetahuan, kesiapan, dan kesadaran.

Selain baligh syar‘i, dikenal pula beberapa bentuk kedewasaan lainnya:

  • Baligh secara politik: yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap isu-isu sosial dan politik, serta pengetahuan tentang masyarakat, hubungan internasional, dan sejenisnya.
  • Baligh secara ekonomi: yaitu kedewasaan dalam mengelola dan menggunakan harta secara bijaksana dan rasional.
  • Baligh dalam hal pernikahan: yakni kesiapan seorang laki-laki dan perempuan—tanpa memandang usia—untuk menjalankan tanggung jawab pernikahan, membentuk keluarga, dan mengelola kehidupan rumah tangga secara dewasa.

Walaupun baligh adalah syarat taklīf, para anak laki-laki dan perempuan dianjurkan sejak sebelum baligh untuk dibiasakan dalam menjalankan ibadah dan menjauhi dosa. Hal ini sebagai bentuk persiapan dan penyambutan terhadap fase taklīf. Orang tua pun memikul tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka dalam hal ini, membiasakan mereka shalat, beribadah, serta menjauhi perbuatan maksiat.

  1. Al-Istiṭā‘ah (Kemampuan)

Kemampuan merupakan syarat dasar dalam taklīf.

Salah satu bentuk keadilan Allah adalah bahwa Dia tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya.

Jika seseorang tidak sanggup melaksanakan kewajiban tertentu, maka taklīf itu gugur darinya.

Sebagaimana firman Allah:

﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

 

  1. Al-Ikhtiyār (Kehendak Bebas)

Dalam kondisi terpaksa atau darurat, taklīf tidak diberlakukan.

Jika seseorang meninggalkan amal ibadah tertentu dalam kondisi yang memaksa, maka itu tidak dianggap sebagai dosa.

Misalnya, tidak dapat menunaikan ibadah haji karena penguasa zalim menghalangi jalan ke Tanah Suci.

Atau seseorang dipaksa dengan kekerasan untuk melakukan perbuatan dosa—selama bukan dosa besar seperti pembunuhan—maka dosa tersebut tidak tertulis atasnya.

 

  1. Al-‘Aql (Akal Sehat)

Akal adalah sarana keunggulan manusia dibandingkan hewan.

Ia adalah syarat mutlak bagi taklīf, wadah ilmu dan amal, serta landasan bagi ganjaran dan hukuman. Tanpa akal, tidak ada taklīf yang dibebankan kepada seseorang.

Orang yang tidak waras dan orang yang dungu tidak dibebani taklīf.

Karena begitu penting dan mulianya anugerah akal dalam kehidupan manusia, Islam mengharamkan segala hal yang merusaknya, seperti minuman keras.

Sebaliknya, Islam memerintahkan hal-hal yang dapat menyempurnakan dan memajukan akal, seperti menuntut ilmu, bermusyawarah, melakukan perjalanan yang bermanfaat, dan mengambil pelajaran dari pengalaman hidup. (bersambung)

Sebagaimana syair Arab klasik mengisyaratkan:

العقلُ زينةُ المرءِ حيثُ توجَّهَا
“Akal adalah perhiasan bagi seseorang ke mana pun ia melangkah.”

Dengan memahami syarat-syarat taklīf ini, kita menyadari bahwa menjadi mukallaf bukan hanya sebuah status hukum, tetapi sebuah anugerah kehormatan, sekaligus amanah berat yang menuntut ilmu, kesungguhan, dan kesiapan jiwa. Ia adalah panggilan dari Tuhan kepada manusia, untuk berjalan di atas jalan kebenaran, menunaikan hak-hak ubudiyah, dan meraih derajat mulia di sisi-Nya.